Dualisme Kepemimpinan Nasional Setelah Supersemar
Pengukuhan Supersemar pada bulan Juni 1966 diikuti Ketetapan Nomor XIV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, kedudukannya digantikan oleh pemegang mandat Supersemar. Berdasarkan Ketetapan MPRS tersebut, kedudukan Supersemar sudah resmi secara hukum dan tidak dapat dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Selain itu, pengukuhan Supersemar menyababkan munculnya dualisme kepemimpinan di Indonesia. Apabila dikritisi lebih lanjut, sebenarnya Ketetapan Nomor XIV/MPRS/1966 bertentangan dengan UUD 1945.
Dualisme kepemimpinan semakin jelas ketika MPRS melalui Ketetapan Nomor XIV/MPRS/1966 memberikan tugas kepada pengamban mandat Supersemar untuk membentuk Kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet Ampera diresmikan pada 28 Juli 1966. Dalam Kabinet Ampera, Presiden Soekarno menjadi pemimpin kabinet, sedangkan Letjen Soeharto sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Letjen Soeharto wajib melaporkan jalannya pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Tugas pokok Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sekaligus mewujudkan isi Tritura.
Dalam sidang umum MPRS pada bulan Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya sebagai presiden yang kemudian dikenal dengan nama Pidato Nawaksara. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung tentang G 30 S/PKI. Oleh karena itu, dalam sidang umum tanggal 20 Juni hingga 5 Juni 2016, melalui Ketetapan Nomor V/MPRS/1966, MPRS meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi isi pidato Nawaksara. Permohonan tersebut disampaikan MPRS melalui nota pimpinan Nomor 2/Pimp.MPRS/1966. Melalui surat tersebut, pimpinan MPRS meminta Presiden Soekarno menyampaikan pertanggungjawaban terkait peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan moral bangsa.
Presiden Soekarno pun menyampaikan kembali pidato pertanggungjawaban pada tanggal 10 Januari 1967 di hadapan anggota MPRS dan DPR-GR. Pidato tersebut dituangkan dalam Surat Presiden RI Nomor 1/Pres/1967 dan diberi nama "Pelengkap Nawaksara" (Pelnawaksara). Dalam pidato Pelnawaksara, Presiden Soekarno menyatakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden Soekarno juga berpendapat bahwa pidato Nawaksara merupakan laporan perkembangan pemerintahan yang disampaikan secara sukarela.
Melalui pidato Pelnawaksara, Presiden Soekarno juga menolak mempertanggungjawabkan peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan moral bangsa secara sendirian. Pidato Pelnawaksara yang disampaikan Presiden Soekarno ini pun ditolak oleh MPRS melalui Keputusan Pimpinan MPRS Nomor 13/B 1967.
Presiden Soekarno mengundurkan diri dari jabatannya secara resmi pada 22 Februari 1967. Pengunduran diri Presiden Soekarno ini berkat saran dari sahabatnya bernama Mr. Hardi. Presiden Soekarno disarankan agar mengakhiri dualisme kepemimpinan yang menjadi akar konflik politik di Indonesia. Selain itu, berakhirnya dualisme kepemimpinan dapat mengembelikan kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu, Presiden Soekarno harus menentukan sikap untuk menyelesaikan konflik.
Dalam sidang istimewa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7-12 Maret 1967 menghasilkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967. Melalui ketetapan tersebut, MPRS menarik mandat Presiden Soekarno atas segala kekuasaannya dalam pemerintahan di Indonesia. MPRS selanjutnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden menggantikan Presiden Soekarno.
Dualisme kepemimpinan semakin jelas ketika MPRS melalui Ketetapan Nomor XIV/MPRS/1966 memberikan tugas kepada pengamban mandat Supersemar untuk membentuk Kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet Ampera diresmikan pada 28 Juli 1966. Dalam Kabinet Ampera, Presiden Soekarno menjadi pemimpin kabinet, sedangkan Letjen Soeharto sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Letjen Soeharto wajib melaporkan jalannya pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Tugas pokok Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sekaligus mewujudkan isi Tritura.
Dalam sidang umum MPRS pada bulan Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya sebagai presiden yang kemudian dikenal dengan nama Pidato Nawaksara. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung tentang G 30 S/PKI. Oleh karena itu, dalam sidang umum tanggal 20 Juni hingga 5 Juni 2016, melalui Ketetapan Nomor V/MPRS/1966, MPRS meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi isi pidato Nawaksara. Permohonan tersebut disampaikan MPRS melalui nota pimpinan Nomor 2/Pimp.MPRS/1966. Melalui surat tersebut, pimpinan MPRS meminta Presiden Soekarno menyampaikan pertanggungjawaban terkait peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan moral bangsa.
Presiden Soekarno pun menyampaikan kembali pidato pertanggungjawaban pada tanggal 10 Januari 1967 di hadapan anggota MPRS dan DPR-GR. Pidato tersebut dituangkan dalam Surat Presiden RI Nomor 1/Pres/1967 dan diberi nama "Pelengkap Nawaksara" (Pelnawaksara). Dalam pidato Pelnawaksara, Presiden Soekarno menyatakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden Soekarno juga berpendapat bahwa pidato Nawaksara merupakan laporan perkembangan pemerintahan yang disampaikan secara sukarela.
Melalui pidato Pelnawaksara, Presiden Soekarno juga menolak mempertanggungjawabkan peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan moral bangsa secara sendirian. Pidato Pelnawaksara yang disampaikan Presiden Soekarno ini pun ditolak oleh MPRS melalui Keputusan Pimpinan MPRS Nomor 13/B 1967.
Presiden Soekarno mengundurkan diri dari jabatannya secara resmi pada 22 Februari 1967. Pengunduran diri Presiden Soekarno ini berkat saran dari sahabatnya bernama Mr. Hardi. Presiden Soekarno disarankan agar mengakhiri dualisme kepemimpinan yang menjadi akar konflik politik di Indonesia. Selain itu, berakhirnya dualisme kepemimpinan dapat mengembelikan kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu, Presiden Soekarno harus menentukan sikap untuk menyelesaikan konflik.
Dalam sidang istimewa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7-12 Maret 1967 menghasilkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967. Melalui ketetapan tersebut, MPRS menarik mandat Presiden Soekarno atas segala kekuasaannya dalam pemerintahan di Indonesia. MPRS selanjutnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden menggantikan Presiden Soekarno.
0 Response to "Dualisme Kepemimpinan Nasional Setelah Supersemar"
Post a Comment